Minggu, 30 Maret 2014

SEDERHANA SAJA, KITA PERLU BERUSAHA


Awalnya, orang-orang mengira bahwa mimpiku itu sia-sia saja. Pada akhirnya, semua itu hanya omong kosong belaka ketika berusaha dengan satu kata. Perubahan. Satu kata semerdu ini mampu membuat mereka bosan membicarakan tentang kegagalanku. Gagal lolos beasiswa Staunton High School di Amerika selama dua kali adalah lebih baik dibanding dengan cerita mereka yang tak pernah mencoba untuk lolos. Sebut saja aku, Yunita Ramadhayanti. Pengalaman bukan saja yang telah terjadi pada diriku. Melainkan apa yang akan aku lakukan dengan kejadian yang aku alami sebelumnya. Itu semua cukup mampu membuatku mengetahui tentang hidup.
* * *

Sepanjang angin akan berhembus, selalu ada kisah tentang sebuah mimpi dan usaha.
“Sabarlah, tunggu sampai ada program beasiswa ke Amerika yang kedua. Ibu yakin kamu pasti bisa, Nita. Kau tahu putriku? Ibu tak pernah kecewa padamu.” Itulah yang ibu katakan kepadaku dua tahun lalu. Entah bagaimana aku harus merasa kecewa pada diriku sendiri sedang ibu saja tak. Aku masih ingat betul wajah ibuku saat itu. Tak tega aku mengecewakannya untuk kedua kalinya dan membiarkannya mengatakan hal yang sama untuk kedua kalinya pula.
            “Tak apa putriku. Bermimpilah dan berusahalah. Tunggu saja sampai program beasiswa yang ketiga.” Perkataannya untuk satu tahun kemudian. Perkataan itu tak tertanggungkan merobohkan benteng terakhir semangatku. Sungguh, kerja keras, kecewa, dan cemoohan orang membuat rasa ingin menyerah sudah tak tertakar lagi. Namun sampai kapanpun aku tak sudi takluk untuk itu. Takkan aku banting pintu yang sama, siapa tahu aku harus kembali lagi. Walau itu untuk ketiga kalinya.
            Berusaha untuk kritis dalam hidup serta berani mengeveluasi diri. Yap, berpikir tentang apa yang kurang? Kenapa bisa seperti itu? Bagaimana mengatasinya? Lalu apa yang akan aku lakukan selanjutnya? Serta pertanyaan dan jawaban terakhir. Kapan aku melakukannya? Sekarang. Tak tanggung-tanggung aku mengambil formulir pendaftaran beasiswa Staunton High School untuk ketiga kalinya di ruang guru atas.
            “Yunita Ramadhayanti, apa kamu yakin mendaftar ini? Kamu tahu, kamu sudah kelas tiga. Kelas tiga itu yang mendaftar hanya minoritas. Mayoritas kelas satu. Seharusnya kamu fokus ujian nasional, pendaftaran PTN, lolos SBMPTN dan ...”
            “SNMPTN ! Maaf Pak, saya yakin saya bisa. Sementara itu kan minoritas, Pak. Artinya ada kelas tiga lain yang ingin berusaha selain saya.”
            “Kamu jangan berusaha tegas dengan saya.” kata Pak Muji, guru Bahasa Indonesia, seperti tak yakin. Seolah-olah meremehkanku dengan mudahnya.
            “Maaf Pak, Saya bukan tegas hanya menegaskan. Terimakasih.” kataku seperti ingin memangkas habis perkataannya yang terkesan meremehkan. Dan pergi begitu saja meninggalkan kata-kataku yang belum terjawab oleh Pak Muji. Mungkin masih meninggalkan rasa kesal pada diriku. Bahkan sampai hari ini.
Bahwa dalam Seleksi Tahap YP/YES/JENESYS Th. 2011-2012 yang diselenggarakan pada
tanggal 20 September 2010, adik dinyatakan LULUS DI TINGKAT CHAPTER.” (Lolos Provinsi)
Aku menghela nafas panjang, sebagai pertanda untuk bersedia berusaha mencapai hal yang sama walau untuk ketiga kalinya. Lolos test di provinsi itu tak ada artinya untuk seorang yang sudah berpengalaman. 13 Desember 2011, di Jakarta aku mengikuti test tingkat nasional. Menentukan masa depan dan mengobati rasa kekecewaan ibu. Ketidaktrimaanku pada kegagalan yang kedua mampu membuat semangat hidup yang baru.
            “Dan siswa terakhir yang lolos beasiswa di Staunton High School sekaligus yang mencapai nilai tertinggi adalah ….” kata ketua Bina Antarbudaya Chapter Semarang ini meninggalkan rasa penasaran yang berdenting pada dinding setiap sudut ruang dan memuncak tinggi pada setiap orang di aula kala itu.
            “Yunita Ramadhayanti Saragi ..” Itu namaku. Tak ada rasa tak percaya pada hasilnya. Aku telah berusaha mati-matian untuk itu.
            Aku melangkahkan kakiku dengan mantap dan penuh rasa bangga.
            “Ibu aku lolos.” Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Suara tepuk tangan menenggelamkan helaan napasnya.
* * *

            Disinilah aku sekarang. Hidup dengan keluarga asuh asal Bunker Hill, Illinois, U.S.A. Bersama keluarga Nowell. Mimpiku telah tercapai. Walaupun perlu berkali-kali gagal namun disaat itu adalah titik cerah kekuatan terdahsyat dalam hidupku. Akan kukejar mimpi-mimpi yang lain. Bekerja keraslah selagi orang sedang tidur. Barangkali, Tuhan sering mengunjungi rumah kita, tetapi kebanyakan kita sedang tidak dirumah. Maksud dari semua itu adalah sederhana saja, kita perlu berusaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar