Minggu, 30 Maret 2014

Hidup Untuk Rakyat !


“Ayo, tinggal tunggu apalagi. Aku sudah sampai diplanetmu. Mana mungkin aku kembali ke planetku dengan tangan kosong. Bisa-bisa aku tak dapat upah. Mau makan apa keluargaku? Cepat, Kidung. Kau harus membantuku.” perintah Boliver, si makhluk luar angkasa, terus menderaku. Terpaksa kubuat skenario praktis agar rengekannya berhenti. Yakni berjanji akan menuruti perintahnya. Tapi yang kudapati adalah tagihan.
“Iya, tunggu sebentar. Aku sedang berpikir, nih.” aku menarik nafas dalam-dalam. Apakah yang akan kulakukan benar? Batinku berbincang. Rasa-rasanya ingin sekali lagi bernegosiasi dengan Boliver. Namun sepertinya nihil. “…. tapi aku takut. Aku tak berani melakukan ini.”
“Kau tenang saja, Kidung. Yang kau lakukan ini benar. Aku mencoba membantu mengatasi masalah negaramu. Ini tak berbahaya.” kata Boliver meyakinkanku.
Kegelisahan mulai nampak diwajahku. Pun demikian dengan Boliver, si makhluk luar angkasa. Ia datang dari planet Borry-borry. Jangan tanyakan dimana letak planet itu. Aku saja tak paham. Ia bertubuh mungil. Bertangan hijau. Namun tubuhnya membiru. Dilengkapi dengan mata yang tampak kemarah-merahan apabila diterpa cahaya gelap. Begitu juga dengan tubuhnya. Satu lagi, ada semacam antenna di kepalanya. Seram. Itu yang kumaksud dari pendeskripsian sederhana ini.
“Hey, ayo. Kenapa malah melihatku seperti itu.” kata Boliver mengagetkanku. “… kau harus membantuku menyelesaikan misiku diplanetmu. Apabila tidak, aku akan kena marah oleh kepala negaraku, Phoenix Mayort.” sambungnya.
“Iya, iya, tapi kenapa kau memilihku. Kenapa bukan anak lainnya saja?”
“Ha? Kau pandai bertanya tentang ini. Semua ini karena kau berbeda, Kidung.” tiba-tiba saja air muka Boliver tampak berbeda.
“Benarkah?”
“Iya. Aku bersungguh-sungguh.”
“Apa yang berbeda?” tanyaku penasaran. “Apa karena rambutku berwarna pirang selagi semua orang di negara ini berrambut hitam? Apa karena aku ini lucu? Menggemaskan? Cerdas? Oh oh oh tunggu tunggu tunggu … pasti karena aku … aku keren! Iya kan?” sontak kuberikan beribu pertanyaan kepada Boliver. Seketika mata merahnya berputar, pertanda menyerah. Air mukanya berbeda. Terdengar ia bergumam sendiri.
Ia menghela nafas panjang. Lalu berkata…
“Dengar, terserahlah kau akan berpikir seperti apa, tapi aku memilihmu karena kau itu berani. Kau berani untuk setiap perbuatan yang kau yakini benar. Kau berani bertindak selagi semua orang sudah menyerah. Terakhir, kau berani putih meski sendiri. Karena kau berbeda, Itu yang kutahu.” Aku menganggukkan kepala pertanda mengerti. Padahal disisi lain, aku tak paham apa yang baru saja Boliver katakan. “Kidung, kau tak perlu takut meski sendiri. Mengerti? Nah, sekarang kau mau membantuku kan?” Ah, lagi-lagi aku dihadapkan pada desakannya.
“Hei Kidung ….” kata Boliver sembari melambaikan tangan didepan wajahku.
“Iya deh.” kataku terpaksa. Butuh keberanian lebih untuk berkata semacam itu. Ini bukan konsep, tapi perbuatan.
“Baiklah. Ini perkara mudah. Di tengah malam, kau datangi rumah presiden itu. Selagi ia tidur, kau suntikkan cairan ini. Mengerti?” tanyanya membingungkanku. Kuanggukkan saja kepalaku.
* * *
Sekarang pukul 23:58 di tempatku. Aku sudah sampai di rumah kepala Negara bersama Boliver. Kami berdua datang bukan karena ingin membunuh presiden. Bukan. Kata Boliver, ini demi kebaikan negaraku. Entah, kebaikan seperti apa.
Kami mengendap-endap. Kami berhasil masuk dengan tangan kosong. Ini karena sulap yang dibuat oleh Boliver. Abracadabra. Muncul cahaya berwarna ungu kebiru-biruan keluar dari antennanya. Entah cahaya apa itu. Tapi ini keren, menurutku. Sesudahnya, kami menemukan pintu besar dengan ukiran berlekuk-lekuk. Aha! Ini dia, kamar presiden.
Sebetulnya didalam ruang ini gelap. Aku dapat melihat berkat cahaya yang keluar dari tubuh Boliver. Makhluk apa dia?
“Kreeetttt ….” pintu kamar presiden perlahan terbuka. Dengan sangat berhati-hati aku berjalan masuk. Boliver menunggu di depan pintu kamar presiden. Mungkin itu sebabnya, kenapa bukan Boliver saja yang melakukan ini. Kenapa harus aku? Karena ia takut dengan bunga. Ya. Bunga yang berada tepat di sebelah tempat tidur kepala negaraku. Sekarang, semua berada di tanganku. Dengan segenap rasio dan akal, sudah kuputuskan. Aku akan.
Kusiapkan suntikan, pemberian Boliver. Dan perlahan …. aku menyuntikkannya di permukaan kulit tangan kiri Pak presiden.
* * *

“Setelah presiden berpidato, rakyat bersorak gembira. Mereka merayakan suka cita ini dengan berpesta ria di depan rumah kepala Negara. Lalu mereka memproklamirkan kemerdeka     an untuk kedua kalinya. Mereka teramat senang dengan kebijakan yang baru dibuat pagi ini. Yakni -“Harga sembako turun, rakyat kecil dibebaskan dari kemiskinan, kegiatan import yang tidak penting dihilangkan dan lebih meningkatkan lagi kegiatan export, tidak akan lagi hubungan dengan luar negeri kecuali yang dapat memakmurkan kehidupan rakyat, sejahterakan kehidupan rakyat kecil, hidup untuk rakyat!” siaran berita ditelevisi pagi ini

SEDERHANA SAJA, KITA PERLU BERUSAHA


Awalnya, orang-orang mengira bahwa mimpiku itu sia-sia saja. Pada akhirnya, semua itu hanya omong kosong belaka ketika berusaha dengan satu kata. Perubahan. Satu kata semerdu ini mampu membuat mereka bosan membicarakan tentang kegagalanku. Gagal lolos beasiswa Staunton High School di Amerika selama dua kali adalah lebih baik dibanding dengan cerita mereka yang tak pernah mencoba untuk lolos. Sebut saja aku, Yunita Ramadhayanti. Pengalaman bukan saja yang telah terjadi pada diriku. Melainkan apa yang akan aku lakukan dengan kejadian yang aku alami sebelumnya. Itu semua cukup mampu membuatku mengetahui tentang hidup.
* * *

Sepanjang angin akan berhembus, selalu ada kisah tentang sebuah mimpi dan usaha.
“Sabarlah, tunggu sampai ada program beasiswa ke Amerika yang kedua. Ibu yakin kamu pasti bisa, Nita. Kau tahu putriku? Ibu tak pernah kecewa padamu.” Itulah yang ibu katakan kepadaku dua tahun lalu. Entah bagaimana aku harus merasa kecewa pada diriku sendiri sedang ibu saja tak. Aku masih ingat betul wajah ibuku saat itu. Tak tega aku mengecewakannya untuk kedua kalinya dan membiarkannya mengatakan hal yang sama untuk kedua kalinya pula.
            “Tak apa putriku. Bermimpilah dan berusahalah. Tunggu saja sampai program beasiswa yang ketiga.” Perkataannya untuk satu tahun kemudian. Perkataan itu tak tertanggungkan merobohkan benteng terakhir semangatku. Sungguh, kerja keras, kecewa, dan cemoohan orang membuat rasa ingin menyerah sudah tak tertakar lagi. Namun sampai kapanpun aku tak sudi takluk untuk itu. Takkan aku banting pintu yang sama, siapa tahu aku harus kembali lagi. Walau itu untuk ketiga kalinya.
            Berusaha untuk kritis dalam hidup serta berani mengeveluasi diri. Yap, berpikir tentang apa yang kurang? Kenapa bisa seperti itu? Bagaimana mengatasinya? Lalu apa yang akan aku lakukan selanjutnya? Serta pertanyaan dan jawaban terakhir. Kapan aku melakukannya? Sekarang. Tak tanggung-tanggung aku mengambil formulir pendaftaran beasiswa Staunton High School untuk ketiga kalinya di ruang guru atas.
            “Yunita Ramadhayanti, apa kamu yakin mendaftar ini? Kamu tahu, kamu sudah kelas tiga. Kelas tiga itu yang mendaftar hanya minoritas. Mayoritas kelas satu. Seharusnya kamu fokus ujian nasional, pendaftaran PTN, lolos SBMPTN dan ...”
            “SNMPTN ! Maaf Pak, saya yakin saya bisa. Sementara itu kan minoritas, Pak. Artinya ada kelas tiga lain yang ingin berusaha selain saya.”
            “Kamu jangan berusaha tegas dengan saya.” kata Pak Muji, guru Bahasa Indonesia, seperti tak yakin. Seolah-olah meremehkanku dengan mudahnya.
            “Maaf Pak, Saya bukan tegas hanya menegaskan. Terimakasih.” kataku seperti ingin memangkas habis perkataannya yang terkesan meremehkan. Dan pergi begitu saja meninggalkan kata-kataku yang belum terjawab oleh Pak Muji. Mungkin masih meninggalkan rasa kesal pada diriku. Bahkan sampai hari ini.
Bahwa dalam Seleksi Tahap YP/YES/JENESYS Th. 2011-2012 yang diselenggarakan pada
tanggal 20 September 2010, adik dinyatakan LULUS DI TINGKAT CHAPTER.” (Lolos Provinsi)
Aku menghela nafas panjang, sebagai pertanda untuk bersedia berusaha mencapai hal yang sama walau untuk ketiga kalinya. Lolos test di provinsi itu tak ada artinya untuk seorang yang sudah berpengalaman. 13 Desember 2011, di Jakarta aku mengikuti test tingkat nasional. Menentukan masa depan dan mengobati rasa kekecewaan ibu. Ketidaktrimaanku pada kegagalan yang kedua mampu membuat semangat hidup yang baru.
            “Dan siswa terakhir yang lolos beasiswa di Staunton High School sekaligus yang mencapai nilai tertinggi adalah ….” kata ketua Bina Antarbudaya Chapter Semarang ini meninggalkan rasa penasaran yang berdenting pada dinding setiap sudut ruang dan memuncak tinggi pada setiap orang di aula kala itu.
            “Yunita Ramadhayanti Saragi ..” Itu namaku. Tak ada rasa tak percaya pada hasilnya. Aku telah berusaha mati-matian untuk itu.
            Aku melangkahkan kakiku dengan mantap dan penuh rasa bangga.
            “Ibu aku lolos.” Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Suara tepuk tangan menenggelamkan helaan napasnya.
* * *

            Disinilah aku sekarang. Hidup dengan keluarga asuh asal Bunker Hill, Illinois, U.S.A. Bersama keluarga Nowell. Mimpiku telah tercapai. Walaupun perlu berkali-kali gagal namun disaat itu adalah titik cerah kekuatan terdahsyat dalam hidupku. Akan kukejar mimpi-mimpi yang lain. Bekerja keraslah selagi orang sedang tidur. Barangkali, Tuhan sering mengunjungi rumah kita, tetapi kebanyakan kita sedang tidak dirumah. Maksud dari semua itu adalah sederhana saja, kita perlu berusaha.

KOTA SERBA TEXT


            Senandung gerimis mulai memecahkan keheningan kota pada sore hari itu. Kerumunan orang mulai berlari mencari tempat untuk berteduh. Aku hanya hening melihatnya, masih asyik akan lamunanku. Sekejab aku melihat jam tangan berwarna perak dengan ukiran berlekuk-lekuk dan mulai menyihirku. Jarum jam terasa begitu lama berputar. Detik-detik berjalan begitu terasa berat. Matahari terasa lambat berjalan. Dan semakin terasa sangat panjang. Bus yang kutunggu-tunggu tak kunjung datang melewati halte ini.
Aku sudah muak berada disini. Melihat orang-orang yang saling menyombongkan diri. Memegang handphone mereka lantas tertawa atau hanya satu getir senyum saja yang terlihat. Mereka itu gila. Mereka berbicara dengan text. Mereka tertawa dengan text. Mereka berdiskusi dengan text. Pun demikian, saat kutanya mereka, mereka pun juga menjawab dengan text.
Ada juga yang menyumbat kupingnya dengan earphone lalu mengangguk-angguk sendiri mengikuti dentuman musik. Semuanya hanya diam. Dengan senyum ala kadarnya. Sekedar mengucapkan “hai” “hallo” atau “assalamualaikum” saja mereka enggan. Halte dipenuhi oleh sepasang muda-mudi yang bercumbu ria. Berpegang-pengangan dengan yang bukan mukhrimnya. Namun uniknya, mereka pun bercinta dengan text. Ada apa dengan kota ini? Sunyi sekali. Semua serba text.
Sunyi membuat suasana sekarat. Bunyi tak-tik-tok dari jarum jam tangankulah yang sedari tadi hanya nyaring berbunyi. Juga batinku.
            “Selamat sore.” suara parau terdengar membuyarkanku akan lamunan sore itu.
Seorang perempuan tua dengan baju gamis berwarna coklat dilengkapi kerudung berwarna sepadan dengan bajunya menarik perhatianku. Aku mengamatinya dengan sangat hati-hati. Mungkin umurnya 60 tahun keatas. Hanya tinggal menunggu sang ajal datang memisahkan roh dari jiwanya. Guratan sisa-sisa wajah mudanya mampu membuatku membayangkan masa mudanya. Pikiranku seolah menelanjangi tentang masa mudanya.
            “Ah …. Selamat sore, Bu.” jawabku. Aku terus memperhatikan perempuan lugu ini. Matanya sayup penuh luka. Hatinya sangat lembut. Seulas senyum indah dan begitu ramah menyapaku. Lalu dia menghampiriku.
            “Kau orang baru di sini?” tanyanya.
            “Iya, Bu.
            Kemudian hening kembali. Ibu ini seakan haus akan kata-kata yang ingin dilontarkan tetapi tak tau apa. Kembali aku teramat-amat mengamatinya. Bedaknya luntur akan air hujan. Merah bibirnya hilang.
            Pikiranku kembali sibuk akan tanda tanya tentang kota ini. Seolah tempat berhantu dengan penduduknya sebagai zombie. Tanpa suara, hanya sunyi yang mampu. Jika sore sudah sesunyi ini apalagi malamnya? Pertanyaan memenuhi pikiranku. Aku mulai membayangkan hal-hal aneh. Apakah sering terjadi pembunuhan? Atau pemerkosaan atau penculikan. Sekedar ingatan kelamku, aku melihat pembunuhan. Ya. Keji memang. Tapi saat itu aku tak berani menolong korban. Pecundang. Hanya sembunyi yang mampu kulakukan. Darah itu mengalir bercabang-cabang, Hingga bermuara dibibir merahnya. Asin dan merah pekat. Merahnya memadamkan merah bibirnya dengan pisau yang menancap pada keningnya. Lalu suasana berubah sunyi. Hanya kematian yang menjerit dan melengkingkan malam. Berdampingan dengan jangkrik yang menyanyikan lagu mati. Dan kodok sebagai pengarangnya. Lalu aku melihat pembunuh mengeluarkan sapu tangan pembunuh dan mengusap pisau pembunuh atas darah yang terbunuh. Saat itu aku benar-benar trauma.
            “Kamu tak tolong orang itu?” Sebuah suara memutus lamunanku. Ah,suara parau itu menyadarkanku.
            Lagi-lagi ibu ini mengajakku bicara. Sepertinya dia mampu membaca pikiranku.
            “Jika tak mau tersakiti mengapa kesini?” tanyanya.
            “Ha?” heranku.
            “Kota ini sudah lama mati. Tak ada lagi obrolan sederhana. Semua serba text. Semua serba alat-alat modern dan canggih. Kota ini sudah gila dan sekarat. Kewarasannya mulai hilang. Sesuatu mulai merasa tidak nyaman dengan kemewahan yang terlalu berlebihan ini. Seakan membawa kita melupakan Tuhan kita. Itu bernama hati. Tunggu saja kesadaran mereka. Tunggu saja kebosanan mereka. Walaupun itu terjadi seratus tahun lagi. Menunggu akan rasa menghormati, mengayomi, dan saling menghargai. Menunggu seribu mekarnya mawar saja lebih singkat daripada para kesadaran manusia. Orang-orang hanya berbicara dengan telephone genggam. Lebih asyik dengan ….. Ah, apalah itu namanya. …”
            “Gatget? Laptop? PC?”
            “Iya, itu maksud saya.”
            Aku hanya mengangguk diam sambil menggerakkan jari jemariku. Aku mulai mengira beliau sudah tidak waras. Tetapi akupun sama hal dengannya. Akankah tidak waras bertemu tidak waras akan menjadi netral? Mungkin begitulah logikanya. Aku sama gilanya dengan perempuan tua ini.
            Demikianlah sampai ufuk menjelang dia terus bercerita dan berceloteh. Pantas saja pita suaranya tak semerdu orang-orang disekitarnya. Meskipun aku lupa dengan bus yang kutunggu, aku menikmati setiap detik celotehnya. Satu hal yang kuingat darinya adalah … (simak saja lanjutan cerita tidak bermutu ini.)
            “Bu, kenapa ibu berpikir sama seperti apa yang saya rasakan?”
            “Hmmm?” Dia hanya bergumam. Lalu kami saling bertatap. Aku memicingkan mata. Begitu juga dengan beliau. Lalu simpul senyuman terbentuk di sudut bibir kami.

            “Mmmmhhhhh …. karena saya mempunyai kepribadian diatas rata-rata.” Tepat. Kami mengucapkan kalimat itu bebarengan disusul tawa kami berdua.