“Ayo, tinggal tunggu apalagi. Aku sudah sampai diplanetmu. Mana
mungkin aku kembali ke planetku dengan tangan kosong. Bisa-bisa aku tak dapat
upah. Mau makan apa keluargaku? Cepat, Kidung. Kau harus membantuku.” perintah
Boliver, si makhluk luar angkasa, terus menderaku. Terpaksa kubuat skenario
praktis agar rengekannya berhenti. Yakni berjanji akan menuruti perintahnya.
Tapi yang kudapati adalah tagihan.
“Iya,
tunggu sebentar. Aku sedang berpikir, nih.” aku menarik nafas dalam-dalam. Apakah
yang akan kulakukan benar? Batinku berbincang. Rasa-rasanya ingin sekali lagi
bernegosiasi dengan Boliver. Namun sepertinya nihil. “…. tapi aku takut. Aku
tak berani melakukan ini.”
“Kau
tenang saja, Kidung. Yang kau lakukan ini benar. Aku mencoba membantu mengatasi
masalah negaramu. Ini tak berbahaya.” kata Boliver meyakinkanku.
Kegelisahan
mulai nampak diwajahku. Pun demikian dengan Boliver, si makhluk luar angkasa.
Ia datang dari planet Borry-borry. Jangan tanyakan dimana letak planet
itu. Aku saja tak paham. Ia bertubuh mungil. Bertangan hijau. Namun tubuhnya
membiru. Dilengkapi dengan mata yang tampak kemarah-merahan apabila diterpa cahaya
gelap. Begitu juga dengan tubuhnya. Satu lagi, ada semacam antenna di kepalanya.
Seram. Itu yang kumaksud dari pendeskripsian sederhana ini.
“Hey,
ayo. Kenapa malah melihatku seperti itu.” kata Boliver mengagetkanku. “… kau
harus membantuku menyelesaikan misiku diplanetmu. Apabila tidak, aku akan kena
marah oleh kepala negaraku, Phoenix Mayort.” sambungnya.
“Iya,
iya, tapi kenapa kau memilihku. Kenapa bukan anak lainnya saja?”
“Ha?
Kau pandai bertanya tentang ini. Semua ini karena kau berbeda, Kidung.”
tiba-tiba saja air muka Boliver tampak berbeda.
“Benarkah?”
“Iya.
Aku bersungguh-sungguh.”
“Apa
yang berbeda?” tanyaku penasaran. “Apa karena rambutku berwarna pirang selagi
semua orang di negara ini berrambut hitam? Apa karena aku ini lucu?
Menggemaskan? Cerdas? Oh oh oh tunggu tunggu tunggu … pasti karena aku … aku keren!
Iya kan?” sontak kuberikan beribu pertanyaan kepada Boliver. Seketika mata
merahnya berputar, pertanda menyerah. Air mukanya berbeda. Terdengar ia bergumam
sendiri.
Ia
menghela nafas panjang. Lalu berkata…
“Dengar,
terserahlah kau akan berpikir seperti apa, tapi aku memilihmu karena kau itu berani.
Kau berani untuk setiap perbuatan yang kau yakini benar. Kau berani bertindak
selagi semua orang sudah menyerah. Terakhir, kau berani putih meski sendiri.
Karena kau berbeda, Itu yang kutahu.” Aku menganggukkan kepala pertanda
mengerti. Padahal disisi lain, aku tak paham apa yang baru saja Boliver katakan.
“Kidung, kau tak perlu takut meski sendiri. Mengerti? Nah, sekarang kau mau
membantuku kan?” Ah, lagi-lagi aku dihadapkan pada desakannya.
“Hei
Kidung ….” kata Boliver sembari melambaikan tangan didepan wajahku.
“Iya
deh.” kataku terpaksa. Butuh keberanian lebih untuk berkata semacam itu. Ini
bukan konsep, tapi perbuatan.
“Baiklah.
Ini perkara mudah. Di tengah malam, kau datangi rumah presiden itu. Selagi ia
tidur, kau suntikkan cairan ini. Mengerti?” tanyanya membingungkanku. Kuanggukkan
saja kepalaku.
* * *
Sekarang
pukul 23:58 di tempatku. Aku sudah sampai di rumah kepala Negara bersama
Boliver. Kami berdua datang bukan karena ingin membunuh presiden. Bukan. Kata
Boliver, ini demi kebaikan negaraku. Entah, kebaikan seperti apa.
Kami
mengendap-endap. Kami berhasil masuk dengan tangan kosong. Ini karena sulap
yang dibuat oleh Boliver. Abracadabra. Muncul cahaya berwarna ungu
kebiru-biruan keluar dari antennanya. Entah cahaya apa itu. Tapi ini keren,
menurutku. Sesudahnya, kami menemukan pintu besar dengan ukiran berlekuk-lekuk.
Aha! Ini dia, kamar presiden.
Sebetulnya
didalam ruang ini gelap. Aku dapat melihat berkat cahaya yang keluar dari tubuh
Boliver. Makhluk apa dia?
“Kreeetttt
….” pintu kamar presiden perlahan terbuka. Dengan sangat berhati-hati aku
berjalan masuk. Boliver menunggu di depan pintu kamar presiden. Mungkin itu
sebabnya, kenapa bukan Boliver saja yang melakukan ini. Kenapa harus aku?
Karena ia takut dengan bunga. Ya. Bunga yang berada tepat di sebelah tempat
tidur kepala negaraku. Sekarang, semua berada di tanganku. Dengan segenap rasio
dan akal, sudah kuputuskan. Aku akan.
Kusiapkan
suntikan, pemberian Boliver. Dan perlahan …. aku menyuntikkannya di permukaan
kulit tangan kiri Pak presiden.
* * *
“Setelah
presiden berpidato, rakyat bersorak gembira. Mereka merayakan suka cita ini
dengan berpesta ria di depan rumah kepala Negara. Lalu mereka memproklamirkan
kemerdeka an untuk kedua kalinya. Mereka
teramat senang dengan kebijakan yang baru dibuat pagi ini. Yakni -“Harga
sembako turun, rakyat kecil dibebaskan dari kemiskinan, kegiatan import yang
tidak penting dihilangkan dan lebih meningkatkan lagi kegiatan export, tidak
akan lagi hubungan dengan luar negeri kecuali yang dapat memakmurkan kehidupan
rakyat, sejahterakan kehidupan rakyat kecil, hidup untuk rakyat!” siaran
berita ditelevisi pagi ini