Minggu, 30 Maret 2014

KOTA SERBA TEXT


            Senandung gerimis mulai memecahkan keheningan kota pada sore hari itu. Kerumunan orang mulai berlari mencari tempat untuk berteduh. Aku hanya hening melihatnya, masih asyik akan lamunanku. Sekejab aku melihat jam tangan berwarna perak dengan ukiran berlekuk-lekuk dan mulai menyihirku. Jarum jam terasa begitu lama berputar. Detik-detik berjalan begitu terasa berat. Matahari terasa lambat berjalan. Dan semakin terasa sangat panjang. Bus yang kutunggu-tunggu tak kunjung datang melewati halte ini.
Aku sudah muak berada disini. Melihat orang-orang yang saling menyombongkan diri. Memegang handphone mereka lantas tertawa atau hanya satu getir senyum saja yang terlihat. Mereka itu gila. Mereka berbicara dengan text. Mereka tertawa dengan text. Mereka berdiskusi dengan text. Pun demikian, saat kutanya mereka, mereka pun juga menjawab dengan text.
Ada juga yang menyumbat kupingnya dengan earphone lalu mengangguk-angguk sendiri mengikuti dentuman musik. Semuanya hanya diam. Dengan senyum ala kadarnya. Sekedar mengucapkan “hai” “hallo” atau “assalamualaikum” saja mereka enggan. Halte dipenuhi oleh sepasang muda-mudi yang bercumbu ria. Berpegang-pengangan dengan yang bukan mukhrimnya. Namun uniknya, mereka pun bercinta dengan text. Ada apa dengan kota ini? Sunyi sekali. Semua serba text.
Sunyi membuat suasana sekarat. Bunyi tak-tik-tok dari jarum jam tangankulah yang sedari tadi hanya nyaring berbunyi. Juga batinku.
            “Selamat sore.” suara parau terdengar membuyarkanku akan lamunan sore itu.
Seorang perempuan tua dengan baju gamis berwarna coklat dilengkapi kerudung berwarna sepadan dengan bajunya menarik perhatianku. Aku mengamatinya dengan sangat hati-hati. Mungkin umurnya 60 tahun keatas. Hanya tinggal menunggu sang ajal datang memisahkan roh dari jiwanya. Guratan sisa-sisa wajah mudanya mampu membuatku membayangkan masa mudanya. Pikiranku seolah menelanjangi tentang masa mudanya.
            “Ah …. Selamat sore, Bu.” jawabku. Aku terus memperhatikan perempuan lugu ini. Matanya sayup penuh luka. Hatinya sangat lembut. Seulas senyum indah dan begitu ramah menyapaku. Lalu dia menghampiriku.
            “Kau orang baru di sini?” tanyanya.
            “Iya, Bu.
            Kemudian hening kembali. Ibu ini seakan haus akan kata-kata yang ingin dilontarkan tetapi tak tau apa. Kembali aku teramat-amat mengamatinya. Bedaknya luntur akan air hujan. Merah bibirnya hilang.
            Pikiranku kembali sibuk akan tanda tanya tentang kota ini. Seolah tempat berhantu dengan penduduknya sebagai zombie. Tanpa suara, hanya sunyi yang mampu. Jika sore sudah sesunyi ini apalagi malamnya? Pertanyaan memenuhi pikiranku. Aku mulai membayangkan hal-hal aneh. Apakah sering terjadi pembunuhan? Atau pemerkosaan atau penculikan. Sekedar ingatan kelamku, aku melihat pembunuhan. Ya. Keji memang. Tapi saat itu aku tak berani menolong korban. Pecundang. Hanya sembunyi yang mampu kulakukan. Darah itu mengalir bercabang-cabang, Hingga bermuara dibibir merahnya. Asin dan merah pekat. Merahnya memadamkan merah bibirnya dengan pisau yang menancap pada keningnya. Lalu suasana berubah sunyi. Hanya kematian yang menjerit dan melengkingkan malam. Berdampingan dengan jangkrik yang menyanyikan lagu mati. Dan kodok sebagai pengarangnya. Lalu aku melihat pembunuh mengeluarkan sapu tangan pembunuh dan mengusap pisau pembunuh atas darah yang terbunuh. Saat itu aku benar-benar trauma.
            “Kamu tak tolong orang itu?” Sebuah suara memutus lamunanku. Ah,suara parau itu menyadarkanku.
            Lagi-lagi ibu ini mengajakku bicara. Sepertinya dia mampu membaca pikiranku.
            “Jika tak mau tersakiti mengapa kesini?” tanyanya.
            “Ha?” heranku.
            “Kota ini sudah lama mati. Tak ada lagi obrolan sederhana. Semua serba text. Semua serba alat-alat modern dan canggih. Kota ini sudah gila dan sekarat. Kewarasannya mulai hilang. Sesuatu mulai merasa tidak nyaman dengan kemewahan yang terlalu berlebihan ini. Seakan membawa kita melupakan Tuhan kita. Itu bernama hati. Tunggu saja kesadaran mereka. Tunggu saja kebosanan mereka. Walaupun itu terjadi seratus tahun lagi. Menunggu akan rasa menghormati, mengayomi, dan saling menghargai. Menunggu seribu mekarnya mawar saja lebih singkat daripada para kesadaran manusia. Orang-orang hanya berbicara dengan telephone genggam. Lebih asyik dengan ….. Ah, apalah itu namanya. …”
            “Gatget? Laptop? PC?”
            “Iya, itu maksud saya.”
            Aku hanya mengangguk diam sambil menggerakkan jari jemariku. Aku mulai mengira beliau sudah tidak waras. Tetapi akupun sama hal dengannya. Akankah tidak waras bertemu tidak waras akan menjadi netral? Mungkin begitulah logikanya. Aku sama gilanya dengan perempuan tua ini.
            Demikianlah sampai ufuk menjelang dia terus bercerita dan berceloteh. Pantas saja pita suaranya tak semerdu orang-orang disekitarnya. Meskipun aku lupa dengan bus yang kutunggu, aku menikmati setiap detik celotehnya. Satu hal yang kuingat darinya adalah … (simak saja lanjutan cerita tidak bermutu ini.)
            “Bu, kenapa ibu berpikir sama seperti apa yang saya rasakan?”
            “Hmmm?” Dia hanya bergumam. Lalu kami saling bertatap. Aku memicingkan mata. Begitu juga dengan beliau. Lalu simpul senyuman terbentuk di sudut bibir kami.

            “Mmmmhhhhh …. karena saya mempunyai kepribadian diatas rata-rata.” Tepat. Kami mengucapkan kalimat itu bebarengan disusul tawa kami berdua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar