Senandung gerimis mulai memecahkan keheningan
kota pada sore hari itu. Kerumunan orang mulai berlari mencari tempat untuk berteduh.
Aku hanya hening melihatnya, masih asyik akan lamunanku. Sekejab aku melihat
jam tangan berwarna perak dengan ukiran berlekuk-lekuk dan mulai menyihirku.
Jarum jam terasa begitu lama berputar. Detik-detik berjalan begitu terasa berat.
Matahari terasa lambat berjalan. Dan semakin terasa sangat panjang. Bus yang
kutunggu-tunggu tak kunjung datang melewati halte ini.
Aku sudah muak berada disini. Melihat
orang-orang yang saling menyombongkan diri. Memegang handphone mereka lantas tertawa
atau hanya satu getir senyum saja yang terlihat. Mereka itu gila. Mereka
berbicara dengan text. Mereka tertawa dengan text. Mereka berdiskusi dengan
text. Pun demikian, saat kutanya mereka, mereka pun juga menjawab dengan text.
Ada juga yang menyumbat kupingnya dengan earphone
lalu mengangguk-angguk sendiri mengikuti dentuman musik. Semuanya hanya diam.
Dengan senyum ala kadarnya. Sekedar mengucapkan “hai” “hallo” atau
“assalamualaikum” saja mereka enggan. Halte dipenuhi oleh sepasang muda-mudi
yang bercumbu ria. Berpegang-pengangan dengan yang bukan mukhrimnya. Namun uniknya,
mereka pun bercinta dengan text. Ada apa dengan kota ini? Sunyi sekali. Semua
serba text.
Sunyi membuat suasana sekarat. Bunyi tak-tik-tok
dari jarum jam tangankulah yang sedari tadi hanya nyaring berbunyi. Juga
batinku.
“Selamat
sore.” suara parau terdengar membuyarkanku akan lamunan sore itu.
Seorang
perempuan tua dengan baju gamis berwarna coklat dilengkapi kerudung berwarna sepadan
dengan bajunya menarik perhatianku. Aku mengamatinya dengan sangat hati-hati. Mungkin
umurnya 60 tahun keatas. Hanya tinggal menunggu sang ajal datang memisahkan roh
dari jiwanya. Guratan sisa-sisa wajah mudanya mampu membuatku membayangkan masa
mudanya. Pikiranku seolah menelanjangi tentang masa mudanya.
“Ah
…. Selamat sore, Bu.” jawabku. Aku terus memperhatikan perempuan lugu ini. Matanya
sayup penuh luka. Hatinya sangat lembut. Seulas senyum indah dan begitu ramah menyapaku.
Lalu dia menghampiriku.
“Kau
orang baru di sini?” tanyanya.
“Iya,
Bu.”
Kemudian hening kembali. Ibu ini seakan
haus akan kata-kata yang ingin dilontarkan tetapi tak tau apa. Kembali aku teramat-amat
mengamatinya. Bedaknya luntur akan air hujan. Merah bibirnya hilang.
Pikiranku kembali sibuk akan tanda tanya
tentang kota ini. Seolah tempat berhantu dengan penduduknya sebagai zombie.
Tanpa suara, hanya sunyi yang mampu. Jika sore sudah sesunyi ini apalagi malamnya?
Pertanyaan memenuhi pikiranku. Aku mulai membayangkan hal-hal aneh. Apakah sering
terjadi pembunuhan? Atau pemerkosaan atau penculikan. Sekedar ingatan kelamku, aku
melihat pembunuhan. Ya. Keji memang. Tapi saat itu aku tak berani menolong korban.
Pecundang. Hanya sembunyi yang mampu kulakukan. Darah itu mengalir bercabang-cabang,
Hingga bermuara dibibir merahnya. Asin dan merah pekat. Merahnya memadamkan merah
bibirnya dengan pisau yang menancap pada keningnya. Lalu suasana berubah sunyi.
Hanya kematian yang menjerit dan melengkingkan malam. Berdampingan dengan jangkrik
yang menyanyikan lagu mati. Dan kodok sebagai pengarangnya. Lalu aku melihat pembunuh
mengeluarkan sapu tangan pembunuh dan mengusap pisau pembunuh atas darah yang
terbunuh. Saat itu aku benar-benar trauma.
“Kamu tak tolong orang itu?” Sebuah suara memutus lamunanku. Ah,suara parau
itu menyadarkanku.
Lagi-lagi ibu ini mengajakku bicara.
Sepertinya dia mampu membaca pikiranku.
“Jika
tak mau tersakiti mengapa kesini?” tanyanya.
“Ha?” heranku.
“Kota
ini sudah lama mati. Tak ada lagi obrolan sederhana. Semua serba text. Semua serba
alat-alat modern dan canggih. Kota ini sudah gila dan sekarat. Kewarasannya mulai
hilang. Sesuatu mulai merasa tidak nyaman dengan kemewahan yang terlalu berlebihan
ini. Seakan membawa kita melupakan Tuhan kita. Itu bernama hati. Tunggu saja kesadaran
mereka. Tunggu saja kebosanan mereka. Walaupun itu terjadi seratus tahun lagi. Menunggu
akan rasa menghormati, mengayomi, dan saling menghargai. Menunggu seribu mekarnya
mawar saja lebih singkat daripada para kesadaran manusia. Orang-orang hanya berbicara
dengan telephone genggam. Lebih asyik dengan ….. Ah, apalah itu namanya. …”
“Gatget? Laptop? PC?”
“Iya,
itu maksud saya.”
Aku hanya mengangguk diam sambil menggerakkan
jari jemariku. Aku mulai mengira beliau sudah tidak waras. Tetapi akupun sama hal
dengannya. Akankah tidak waras bertemu tidak waras akan menjadi netral? Mungkin
begitulah logikanya. Aku sama gilanya dengan perempuan tua ini.
Demikianlah sampai ufuk menjelang dia
terus bercerita dan berceloteh. Pantas saja pita suaranya tak semerdu
orang-orang disekitarnya. Meskipun aku lupa dengan bus yang kutunggu, aku menikmati
setiap detik celotehnya. Satu hal yang kuingat darinya adalah … (simak saja
lanjutan cerita tidak bermutu ini.)
“Bu, kenapa ibu berpikir sama
seperti apa yang saya rasakan?”
“Hmmm?”
Dia hanya bergumam. Lalu kami
saling bertatap. Aku memicingkan mata. Begitu juga dengan beliau. Lalu simpul
senyuman terbentuk di sudut bibir kami.
“Mmmmhhhhh …. karena saya
mempunyai kepribadian diatas rata-rata.” Tepat. Kami mengucapkan kalimat
itu bebarengan disusul tawa kami berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar